Aku,
seorang akhwat periang (setidaknya, begitulah yang tampak dari luar),
berusia 22 tahun. Hidupku penuh dengan kesedihan, sejak kecil sampai
tumbuh besar jarang ku kecap bahagia. Tapi ku kelabui dunia dengan sosok
ku yang ceria dan penuh canda. Seringkali teman-temanku bertanya, “Ya
ukhty, bagaimana caranya supaya tidak pernah sedih seperti anti?”, hanya
senyum yang bisa ku beri untuk menjawab pertanyaan yang sesungguhnya
pun ingin ku tanyakan pada mereka yang hidupnya bahagia tanpa cela. Tapi
sudahlah, tak kan ku ceritakan kisah sedih masa kecilku, ku hanya akan
mengisahkan pencarianku akan bahagia.
Dua tahun lalu, tepatnya saat usiaku 20
tahun, aku mulai berfikir untuk melepas kesendirian, ku utarakan niatku
pada seorang akhwat senior yang memang sudah beberapa kali menawariku
untuk “ta’aruf” dengan beberapa ikhwan yang semuanya kutolak karena
berbagai alasan. Sampai ku mengenalnya, lewat sebuah situs pertemanan.
Dia, Ubaid (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa di sebuah
perguruan tinggi di timur tengah. Sosoknya yang begitu dewasa, santun,
lagi berilmu. Segala yang kucari ada padanya. Sayangnya, dia sudah
beristri dan memiliki seorang anak. Kutepis hasratku untuk mengenalnya
lebih jauh.
Hari demi hari, entah kenapa aku semakin
kagum padanya. Walau belum pernah bertatap muka, tapi diskusi kami lewat
“chat”, kedalaman ilmunya, keindahan susunan kata-katanya, sungguh
meninggalkan kesan yang begitu dalam di hatiku. Aku mulai jatuh hati
padanya. Ubaid, pria beristri itu!
Ternyata rasa-ku tak bertepuk sebelah
tangan. Hari selanjutnya ia menelponku, dan ia menanyakan pandanganku
tentang polygamy. Tentu aku menjawab bahwa polygamy adalah sunnah.
Sunnah yang dibenci kebanyakan orang. Oleh sebab itu, aku kagum pada
mereka yang bisa menjalankannya. Pada akhwat-akhwat tangguh yang mampu
mengalahkan egoisme dan “hati”nya untuk berbagi orang yang paling
dicintainya. Bukankah tak akan sempurna iman seseorang sampai ia mampu
memberikan pada saudaranya apa yang dia inginkan untuk dirinya sendiri?
Blah blah blah, panjang lebar penjelasanku saat itu. Ubaid mendengarkan,
lalu berkata : “ما شاء الله, seandainya semua istri berfikiran seperti
anti”. “Maukah anti menjadi permaisuri kedua di istanaku?”
Semburat
jingga langit sore itu menjadi saksi bahagiaku mendengar permintaannya.
Tapi syukurlah logika-ku masih berjalan. Ku katakan padanya “Bagaimana
mungkin antum meminta ana menjadi istri antum sedangkan bagaimana rupa
ana-pun antum belum tau? Juga bagaimana nanti respon keluarga ana dan
keluarga antum, mungkinkah mereka akan menerima?” Dia hanya diam. Lalu
kutanya “Apakah istri antum mengetahui, antum ingin berta’addud?” Dia
menjawab “Tidak, tapi pemahamannya sudah baik, insya Allah istri ana
akan menerima”. Tersenyum aku mendengarnya. Lalu kami sudahi percakapan
sore itu.
“Lebih baik kamu ga usah nikah selamanya
daripada jadi istri kedua!” Teriak ibuku, saat ku tanyakan pendapatnya
tentang polygamy. Padahal aku belum menanyakan bagaimana pendapatnya
jika akulah perempuan yang dipolygamy itu.
Kuutarakan keberatan ibuku kepada Ubaid.
Ibuku memang sering melihat contoh polygamy orang-orang tidak berilmu
yang hanya mengedepankan nafsu. Itu sebabnya beliau begitu menentangnya.
Walau berpuluh kali kukatakan pada ibuku bahwa polygamy yang didasari
ilmu dan ketakwaan pada Allah tentu akan berbeda cerita.
Ubaid memintaku untuk terus mendakwahi
ibuku sampai beliau mau menerima syariat ta’addud. Diapun melakukan hal
yang sama pada istrinya. Meyakinkannya untuk rela berbagi denganku.
Pelan namun pasti, ibuku akhirnya luluh.
Beliau tidak lagi mencaci pelaku polygamy, apalagi setelah kuterangkan
tentang hukum menolak syari’at atau mengingkari ayat AlQuran. Begitulah
ibuku, menentang di awal, kemudian luluh setelah hujjah di tegakkan.
الحمد لله . Semoga beliau selalu dalam lindungan dan rahmat-NYA.
Kusampaikan kabar gembira itu pada ubaid
lewat sebuah pesan singkat. Dibalasnya dengan “Alhamdulillaah, insya
Allah liburan musim panas ini, ana akan menikahi anti”. Senang hatiku
tak terkira.
Empat bulan masa penantian terasa begitu
lamaaaa.. Tertatih menjaga hati.. Karena memang cara ta’aruf kami tidak
sepenuhnya benar.. Kami sering berkomunikasi lewat chat, telpon, dan
sms.. Astaghfirullaah..
Hari yang dinanti pun tiba. Ubaid pulang
ke Indonesia. Sendiri. Tidak dengan anak istrinya. Pertemuan pertama,
semua masih terasa sempurna. Begitupun saat dia meminangku pada kedua
orang tuaku. Sosoknya yang “charming” membuat orang tuaku seolah lupa
dengan statusnya yang sudah menikah dan memiliki seorang anak. Hingga
diakhir pertemuan itu seorang kerabat mengingatkan. Karena Ubaid
meyakinkan bahwa pernikahan kami atas izin dan restu istri pertamanya,
orang tuaku akhirnya menyerahkan segala keputusan kepadaku. Tentu saja
aku menerimanya. Dengan hati berbunga!
Ikhwan nan lucu, cerdas, berilmu dan tampan itu, akan menjadi suamiku! Gadis mana yang tak bahagia dipinang pria sepertinya?
Setelah tanggal disepakati, Ubaid pamit
untuk pulang ke kampung halaman dan menjemput orang tuanya. Dia akan
kembali lagi bulan depan karena banyak jadwal mengisi kajian di kampung
halamannya selama liburan musim panas.
Pada tanggal yang disepakati, Ubaid
datang ke rumah. Tapi tidak dengan orang tuanya. Karena ternyata orang
tuanya tidak merestui rencana pernikahan kami. Orang tuaku pun tidak
akan merestui jika pernikahan ini tidak mendapat restu dari keluarga
Ubaid. Buyar sudah rencana kami untuk menikah. Karena Ubaid tidak juga
mendapat restu orang tuanya sampai masa liburannya berakhir. Dia kembali
ke timur tengah untuk melanjutkan study, dan tentu saja untuk kembali
pada istri dan anaknya. Cemburu kah aku? Ah.. Aku bahkan tak berhak
sedikitpun untuk cemburu!
Aku hanya bisa menangis dan menangis.
Ingin melupakannya saja, tapi rasa untuknya sudah terhujam sedemikian
dalam. Astaghfirullaah. Ampuni aku ya Allaah.
Ubaid memintaku untuk menunggu. Dia
berjanji akan menikahiku musim panas tahun depan. Aku yang dungu pun
menunggu!! Setahun berlalu, beberapa proposal taaruf sudah kutolak
dengan alasan “sudah ada calon”. Intensitas komunikasiku dengan Ubaid
sudah jauh berkurang. Selain karena kesibukannya menghadapi ujian, juga
demi menjaga hubungan kami agar tidak melewati batas.
Hingga tiba masa yang kunantikan. Liburan
musim panas tahun berikutnya! Ubaid pulang ke Indonesia dengan istri
dan dua anaknya! Ya, DUA anaknya. ternyata istrinya baru saja melahirkan
anak kedua mereka.
Kunantikan janjinya. Pekan pertama,
kedua, dan ketiga. Saatnya Ubaid datang dan menikahiku! Tapi tak ada
kabar darinya! Kutelpon seorang akhwat temanku yang juga adalah
tetangganya. temanku mengabarkan, Ubaid sedang menjaga istrinya di Rumah
Sakit! Ternyata pekan lalu, istrinya mencoba bunuh diri dan mengancam
akan membunuh bayinya setelah mengetahui rencana pernikahan kami!
Allahul musta’an
Saat itu juga ku mantapkan niatku untuk
mengakhiri semuanya. Walau sedikit terlambat! Ternyata Ubaid tidak
pernah menyatakan niatnya menikahiku kepada istrinya, dia berencana
melakukannya diam-diam. Dan dia juga tidak pernah memberitahuku bahwa
istrinya mengidap depresi berat.
Singkat kata, aku menyiakan 1,5 tahun usiaku untuk menunggu seseorang yang tak layak kutunggu!
Hikmah apa yang bisa kita ambil dari kisah fulanah diatas?
Poligamy memang adalah sunnah yang sangat
mulia. Apalagi sunnah yang satu ini seringkali di anak tirikan bahkan
oleh umat muslim sendiri. Jadi tak perlu lagi di ragukan atau di
perdebatkan tentang hukum dan keutamaannya.
Justru yang patut kita soroti adalah adab “calon” pelaku poligamy.
Betapa sering kita jumpai kisah seperti
di atas walau mungkin tidak sedramatis itu? Betapa banyak wanita-wanita
yang harus “patah hati” karena merasa di permainkan oleh “calon pelaku
poligamy”? Setelah menabung harap, ternyata si ikhwan hanya “coba-coba”.
Ternyata ia belum benar-benar siap dan belum “menyiapkan” keluarganya.
So, bapak-bapak, kalau mau nikah lagi yang ‘wise’ ya. Jangan grusa grusu cari akhwat dulu kalau belum benar-benar siap dan sanggup bersikap “jantan” menghadapi semua rintangan .
Walaupun izin dan restu istri/keluarga
tidak wajib ada, tapi setidaknya akan mengurangi banyak hal tidak
menyenangkan di kemudian hari. Kalaupun mau lanjut tanpa izin dan restu
keluarga, silahkan saja, asal mampu menanggung segala resiko dan
akibatnya. Jangan malah lari di tengah jalan, sementara ada akhwat yang
menangis karena terlalu awal menabung harap.
Untuk saudari-saudariku tercinta di luar
sana, jangan gampang “main hati”.. Buang jauh-jauh rasa cinta dan
sejenisnya sampai akad sudah terucap.. selain menghindarkan diri dari
dosa juga menghindarkan diri dari sakit hati insya Allah..
(Kisah ini adalah sebuah kisah nyata yang
diceritakan oleh seorang akhwat yang bersangkutan,,tapi untuk info
detailnya sengaja di samarkan.)